Senin, 06 Februari 2017

Malaikat Kecil Untuk Arina #3

#3: Hari Pernikahan

Kisah Arina...
Satu minggu sebelum pernikahan Mas Amran dan Lathifa, kami memutuskan untuk menyewakan sebuah rumah di sebelah komplek perumahan kami untuk Lathifa. Rencana pernikahan ini adalah pernikahan sederhana tanpa pesta yang meriah, pihak keluarga Ifa sudah setuju, meskipun mertuaku masih sangat keberatan dengan pernikahan kedua suamiku tapi aku meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja. Mas Amran masih sibuk dengan urusan kantornya jadi akulah yang mempersiapkan dokumen-dokumen pernikahan, semua kesibukan ini membuatku sejenak melupakan masalah penyakitku, akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu bersama calon istri kedua suamiku, Ifa benar-benar wanita yang sangat lembut dan penyabar, aku mendapatkan sahabat sekaligus kakak yang selama ini selalu kuinginkan, untuk seorang wanita yang suaminya akan menikah dengan wanita lain, aku seolah tampak lebih bahagia dari kehidupanku sebelum kanker merenggut kesempatanku untuk menjadi seorang ibu. Setiap pulang kerja Mas Amran hanya tersenyum kecil mendengarkan ceritaku tentang persiapan pernikahannya, sesekali ia mengusap lembut kepalaku yang berbaring dalam pangkuannya, ia memang tidak terlihat antusias tapi ia tetaplah lelaki penuh komitmen yang selalu membuatku jatuh hati sejak pertama kali mengenalnya, terlebih aku sangat tahu Mas Amran sangat mencintaiku dan akan melakukan apapun untuk kebahagiaanku.


Kisah Amran...
Sudah satu minggu ini Arina terlihat lebih hidup, dan mirisnya hal itu karena ia sangat antusias dengan pernikahan keduaku. Hal yang paling kutakutkan adalah melukai perasaan wanita yang kunikahi dengan rasa cinta, dan bagaimana mungkin ia tidak terluka saat suaminya akan menikah lagi? aku sempat mempertanyakan rasa cintanya kepadaku apakah tak sebesar perasaanku kepadanya, karena aku tak ingin berbagi, karena bagaimanapun sulitnya kehidupan kami, aku hanya ingin melewati semua bersama Arina, istriku. Tapi saat aku melihat bekas luka operasi di perutnya yang masih merah, saat kulihat malam-malam penuh airmata yang ia tumpahkan dalam pelukanku, aku telah bersumpah dihari saat aku menjadikannya istriku bahwa aku akan selalu berusaha membuatnya bahagia. Maka ketika permintaan untuk menikah lagi itu muncul dari bibir mungilnya duniaku rasanya berputar tak tentu arah, dalam kasus lain memang banyak pria yang meminta menikah lagi kepada istrinya, tapi kali ini justru istrikulah yang meminta aku menikah lagi, demi kehadiran buah hati kami yang harus tumbuh dan lahir dalam rahim wanita lain. Dengan berat hati aku menyetujui permintaannya, dengan syarat dia yang harus mencarikan calon ibu bayi kami, dan berkali-kali aku selalu meyakinkannya bahwa ia tak akan terluka dengan keputusan yang ia ambil kali ini.

Wanita itu bernama Lathifa, usianya sedikit lebih tua dari Arina, wajahnya tentu tidak secantik istriku, tapi ada aura lembut yang terpancar saat menatapnya. Aku baru tahu bahwa wanita yang dibawa istriku kerumah untuk menjadi istri keduaku adalah adik kelasku saat kuliah dulu, aku memang tidak mengenalnya karena ada banyak teman wanita di kampus dan aku tidak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya ingat nama Annissa karena ia mahasiswi yang karya ilmiahnya kubantu atas permintaan dosen dan kabar yang tersebar justru aku akan menikahi Annissa. Tapi nama Lathifa sama sekali tidak pernah melekat dalam ingatan masa kuliahku dulu, sebetulnya aku masih sangat ingin menolak rencana pernikahan ini, tapi demi melihat Arina yang terlihat jauh lebih sehat setelah mendengar vonis dokter dan operasi pengangkatan rahim lidahku tak kuasa berkata-kata. Jadi aku lebih banyak diam dan menerima semua keputusan istriku, dia juga terlihat akrab dan rukun dengan Ifa, mereka baru saja bertemu tapi sudah terlihat seperti telah bersahabat sejak kecil, aku sedikit cemburu saat istriku kadang terlihat menggelayut manja kepada calon madunya, selama ini selain orangtuanya hanya kepadaku Arina selalu bermanja-manja, entah perasaan aneh apa yang kurasakan tapi aku lebih cemburu daripada istriku yang akan segera dimadu.


Kisah Lathifa...
Ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku semakin mendekati hari pernikahan, akhir-akhir ini aku memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arina, dia adalah wanita yang aktif dan ceria, sekilas orang-orang tak akan menyangka dia baru saja menjalani operasi pengangkatan rahim. Wajar saja Mas Amran sangat mencintai istrinya, Arina sangat cantik dan memiliki kepribadian yang menarik, meskipun sedikit manja tapi ia tak pernah merepotkan orang lain. Aku sering melirik Mas Amran mengamati kedekatan Arina denganku. Semua persiapan pernikahan kami diurus oleh Arina, sementara Mas Amran lebih terlihat cuek dan tak peduli seakan bukan dia yang akan menikah. Jujur saja aku sangat takut, aku takut dibenci oleh pria yang kucintai, aku juga merasa berdosa kepada wanita yang sangat baik ini karena memendam perasaan cinta kepada suaminya setelah semua kebaikan yang ia lakukan untukku. Tapi aku tak bisa mundur lagi, ini sudah menjadi keputusanku untuk membantu mereka menghadirkan malaikat kecil dalam kehidupan mereka, meski aku tak yakin apakah kelak aku bisa memiliki malaikat kecilku sendiri, aku hanya ingin bisa membahagiakan pria yang kucintai, dengan cara membahagiakan wanita yang dicintai olehnya.
Hingga tiba hari pernikahan aku tak banyak berbicara dengan Mas Amran, namun pada malam sebelum pernikahan dia menghampiriku yang sedang membantu keluarganya menyiapkan acara akad nikah esok pagi,
"Dik Ifa, bisa bicara sebentar di ruang tengah?" suara lembut Mas Amran memanggilku dari pintu dapur, Arina yang sedang duduk di meja makan melirik kami yang keluar dari dapur melewati ruang makan, dia terlihat ingin bangkit tapi entah apa yang membuatnya kembali duduk dan fokus dengan laptopnya. Jantungku berdegup kencang, apa yang akan dikatakan calon suamiku? kehidupan seperti apa yang menungguku setelah hari esok? apakah aku akan diabaikan layaknya istri palsu yang hanya dibutuhkan rahimnya saja?
Aku duduk di hadapan Mas Amran, dia terlihat berpikir sejenak sebelum mengambil nafas panjang dan berkata,
"Dik Ifa benar-benar sudah yakin dengan keputusan ini kan? Setelah hari esok saya tidak berharap akan ada kata penyesalan yang terdengar karena ini adalah keputusan kita bersama." ujar Mas Amran,
"Insya Allah tidak Mas, aku memang sudah bertekad membantu kalian dan semoga Allah meridhai apa yang kulakukan saat ini."terbata kubalas kalimatnya barusan, dia masih menatapku ragu
"Saya mencintai Arina dengan sepenuh hati..." lirih kalimat Mas Amran menusuk hatiku, dia melanjutkan "Saya tidak bisa banyak berjanji mampu membagi cinta sama rata untuk kalian kelak, tapi saya akan berusaha menjadi suami yang adil jadi mohon jika ada hal-hal yang membuatmu tidak nyaman sampaikan langsung kepada saya atau Arina karena bagaimanapun kita akan menjadi keluarga. Begitu juga jika kelak Allah mengijinkan anak kami lahir darimu, kau berhak menyayanginya sama besar seperti kami akan mencintainya, ini sudah menjadi keputusanku dan Arina sebelum kami bertemu denganmu." ujarnya tegas, aku menahan airmataku yang hampir jatuh, hatiku dipenuhi rasa syukur yang begitu besar, aku bahkan tidak pernah berharap bisa dicintai olehnya, tapi ia memperlakukan aku dengan sangat terhormat. Semakin aku mengenalnya semakin dalam hatiku dibuat jatuh cinta olehnya.
Pagi hari tiba, sepanjang malam mataku sulit terpejam, ini memang jauh dari bayangan pernikahan yang dulu kuimpikan saat remaja, tapi aku telah benar-benar jatuh cinta pada Mas Amran, jauh sebelum dia sadar tentang keberadaanku.
"Saya terima nikahnya Lathifa binti Marhum dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." ucap Mas Amran khidmat sambil menjabat tangan ayahku, terdengar dengungan "Sah!" dari para saksi yang hadir dalam akad nikah kami, Arina tersenyum kepadaku dengan mata berkaca-kaca. Aku mencium tangan Mas Amran yang telah sah menjadi suamiku, dengan lekat kupandangi wajahnya yang tampan tanpa malu-malu, dia tersenyum kepadaku, lengannya yg besar menarik Arina dan aku dalam pelukannya. Belum lepas dari pelukan Mas Amran tubuh Arina merosot jatuh lunglai ke lantai, wajahnya yang tadi tersenyum kini terlihat pucat, teramat pucat. Mas Amran sangat terkejut dan berteriak memanggil Arina, dengan masih memakai jas pengantin dia membopong tubuh Arina masuk ke mobil dan melesat menuju rumah sakit, meninggalkan aku yang masih termangu dan para tamu dengan tatapan bingung dan khawatir.

to be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar