Jumat, 07 September 2018

Malaikat Kecil Untuk Arina #5



BAB V

Rintik-Rintik Cemburu


Kisah Arina

Aku sangat kecewa saat dokter mengharuskan proses bayi tabung kami ditunda selama tiga bulan, Mas Amran dan Ifa dengan sabar selalu mendukungku. Setelah pulih dan keluar dari rumah sakit aku lebih giat menerapkan gaya hidup sehat. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum kehadiran seorang malaikat kecil dalam rumah tangga kami.

Hidup berdekatan dengan istri kedua tak sesulit yang dikatakan orang-orang, setiap kali aku berbelanja di tukang sayur ujung komplek semua ibu-ibu yang ikut belanja selalu dipenuhi rasa ingin tahu tentang keadaan rumah tangga kami,

“Mbak Rina, maaf ya kepo… memang gak cemburu suaminya nikah lagi?” tanya seorang ibu separuh baya sambil memilih daun bayam, serentak semua ibu-ibu yang lain ikut diam menanti jawabanku,

“Belum ada alasan untuk cemburu Bu, sampai saat ini Mas Amran belum mau dekat-dekat dengan madunya” jawabku sambil tersenyum, beberapa ibu-ibu ber “Oohhh” sambil mengangguk,

“Memangnya yang minta dimadu Mbak Rina ya? Apa karena Mbak Rina mandul?” tanya seorang ibu lagi yang langsung disikut oleh ibu yang lain,

Nyuuuuut, rasanya hati ini seperti dicubit mendengar pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan tentang kebenaran bahwa aku tak lagi bisa memiliki anak. Aku menghela napas,

“Yang penting ikhtiarnya kan Bu? Saya dan Mas Amran minta doa saja dari ibu-ibu sekalian semoga apa yang sedang kami usahakan di ijabah oleh Allah dan senantiasa diberi kebahagiaan dalam rumah tangga kami. Mari Bu, saya duluan ya.” aku pamit setelah membayar belanjaan, sulit juga ternyata berusaha tetap bersikap ramah setelah hatiku terasa nyeri meladeni rasa ingin tahu mereka yang luar biasa.

Dalam perjalanan pulang aku melihat Ifa dari ujung gang sedang menuju ke rumah kami, kami tiba bersamaan di depan rumah dan langsung mempersilahkan Ifa masuk ke dalam,

"Mbak Rin baru pulang belanja? Ifa sudah masak banyak di kontrakan makanya sekalian antar makanan kesini." ujar Ifa sambil menyerahkan makanan yang dibawanya dari rumah.


"Alhamdulillah makasih banyak ya Fa, sebentar lagi Mas Amran pulang kerja habis sholat jumat nanti. Kita makan bareng saja disini." aku mengajak Ifa masuk ke dalam rumah, mengambil piring untuk menempatkan makanan yang dibawanya dari kontrakan, Ifa membantuku menyiapkan meja makan untuk makan bersama sebelum Mas Amran pulang,


Tiiinn Tiiiin

Tak berapa lama kemudian suara klakson mobil terdengar dari depan pagar menandakan Mas Amran telah pulang berbunyi, aku segera berlari membukakan pintu pagar. Keluar dari mobil Mas Amran mengecup keningku dan merangkulku masuk ke dalam rumah, dia sedikit terkejut saat melihat Ifa sedang menyiapkan meja makan,

"Lho ada Ifa toh, Dek Rin?"


"Iya Mas, Ifa datang antar makanan jadinya Rina ajak makan siang sekalian. Lebih rame lebih seru kan." Mas Amran tersenyum lembut dan mengangguk pelan, dia menarik kursi meja makan dan menyuruhku duduk, Mas Amran baru akan mengambil piring saat Ifa mencegahnya,


"Mas Amran duduk saja biar Ifa yang siapkan piringnya" ujar Lathifa cepat, dengan sigap tangannya menyendok nasi dan lauknya dan menyerahkannya kepada suamiku. Mas Amran menatapku sekilas sebelum menerima piring dari Lathifa. Biasanya akulah yang selalu dimanja oleh Mas Amran, sejak awal pernikahan bisa dibilang aku sangat jarang bisa melakukan tugas melayani suami seperti yang dilakukan Ifa saat ini, karena sebelum sakit aku dan Mas Amran sama-sama sibuk dengan dunia pekerjaan masing-masing. Mas Amran adalah suami yang sangat pengertian dan mandiri, serta tak pernah keberatan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Agak sedikit terasa ganjil melihat suamiku dilayani oleh wanita lain di dalam rumah kami sendiri.




Kisah Lathifa

Kunjunganku kerumah Arina dan Mas Amran hari ini perlahan-lahan mulai mengikis harapanku untuk balik dicintai oleh suamiku sendiri. Aku bisa melihat rasa cinta antara mereka berdua begitu kuat hanya dari cara mereka saling memandang. Tiba-tiba aku merasa malu, tiba-tiba aku merasa begitu egois dengan menyetujui pernikahan kedua ini. Aku merasa telah membohongi Arina karena aku telah mencintai suaminya diam-diam, bahkan mungkin jauh sebelum Mas Amran mengenal dan jatuh cinta pada Arina.

Sepulangnya Arina dari rumah sakit aku lebih banyak menemani Arina saat Mas Amran kerja, terkadang aku masih mengurus keperluan toko keluargaku. Aku dan Mas Amran tak lagi punya kesempatan berdua sepulangnya Arina dari rumah sakit. Bertemupun hanya saat aku berkunjung kerumah mereka. Seminggu sudah umur pernikahan kami dan Mas Amran sepertinya lebih memilih untuk tidak menyakiti Arina dengan tidak berdekatan denganku. Aku tahu aku berhak memintanya menemaniku tapi rasa cintaku padanya selalu membuat lidahku kelu. Dan lagi aku merasa seperti sedang mencoba menggoda suami orang karena ada Arina dimanapun kami berada. Terlebih saat makan siang tadi aku berinisiatif mengambilkan makanan untuk Mas Amran, hal itu sudah menjadi kebiasaan dalam keluargaku. 

Aku selalu menyaksikan Ibuku mengambilkan makanan untuk Ayah dan anak-anaknya, saat kecil dulu aku berpikir Ibu sedang mengatur jumlah makanan untuk keluarga kami yang pas-pasan agar sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Tapi setelah dewasa dan usaha penjualan toko kami semakin maju ternyata ibu masih melakukan hal yang sama, bahkan pada adik-adik iparku dan cucu-cucu nya. Aku melihat Ibuku adalah sosok yang berbakti pada keluarga dengan melayani sepenuh hati, hingga meskipun keluarga kami bisa dibilang kekurangan materi tapi kami tetap merasa bahagia karena tak pernah merasa kekurangan cinta kasih seorang ibu. Aku ingin menjadi seorang wanita seperti Ibu, yang menjadi kebutuhan utama seluruh anggota keluarga, dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya.

Tapi tatapan Arina tadi siang segera menyadarkanku bahwa pernikahanku dengan Mas Amran tidak lantas menjadikanku seorang ratu dalam rumah tangga layaknya ibuku dalam keluarga kami. Aku hanyalah seorang madu, yang meskipun menikah atas ijin istri pertama aku tetaplah wanita kedua, yang meskipun Mas Amran berjanji akan bersikap adil tapi cintanya tetap hanya milik Arina seorang.

Dalam kamar kontrakan aku menangis dalam diam, menangisi cinta yang tak bisa kuungkapkan kepada suamiku, padahal rasa cinta ini rasanya seperti sungai yang meluap-luap. Dan orang yang kucintai duduk tepat di hadapanku bercanda dan tertawa penuh cinta dengan orang yang dicintainya. Rasa bersalah membanjiri pikiranku saat mengingat airmata ibu yang jatuh saat pertama kukatakan bahwa aku akan menikah dan menjadi istri kedua, aku tahu ibu adalah orang yang paling keberatan dengan pernikahan ini, tapi saat kukatakan bahwa aku berjanji akan bahagia apapun yang terjadi, ibu memelukku dengan airmata berderai dan memberi restunya.

Namun yang terjadi saat ini aku tidaklah baik-baik saja, cinta yang tadinya kuanggap sebuah ketulusan berubah menjadi sebuah keharusan untuk memiliki, kupikir aku mampu mencintai Mas Amran tanpa mengharapkan perasaanku terbalas, tapi semakin lama aku berada dalam lingkaran kehidupan Arina dan Mas Amran rasa keegoisan ini semakin besar dan tanpa kusadari perlahan-lahan telah menelan semua rasa syukur dan kebahagiaanku.


Kisah Amran

Sepulangnya Lathifa dari rumah kami Arina jadi sedikit lebih pendiam, entah karena lelah atau memang ada hal yang mengganggu pikirannya, aku menghampiri Arina yang sedang mengumpulkan piring kotor untuk dibawa ke dapur, berniat untuk membantunya mencuci piring aku menyalakan air dan menyiapkan sabun saat Arina datang dan menyelaku,

"Mas istirahat saja ya, biar Arina saja yang cuci piring. Mas pasti capek belum istirahat sejak pulang kantor tadi" ujarnya sambil menaruh piring-piring kotor di dapur, aku menatapnya heran,

"Lho kok tumben Dik Rin tidak mau dibantu beberes? padahal biasanya aku dapat kecupan terimakasih kalau sudah selesai bantu bantu pekerjaan rumah" aku menggoda istriku yang langsung tersipu malu, Arina mengecup pipiku lembut dan berkata,

"Mulai sekarang Arina mau belajar jadi istri yang lebih baik buat Mas Amran, dan berlatih jadi Ibu yang baik untuk anak kita kelak. Harus ada kemajuan yang berarti saat Arina resign dari kantor dan memutuskan jadi ibu rumah tangga" ujarnya lugas dan penuh semangat, aku terharu mendengar perkataannya. Tadinya aku sempat khawatir saat memintanya berhenti dari pekerjaannya Arina akan stress, tapi jika melihat semangatnya saat ini aku menjadi sedikit lega.

Aku sedang membereskan meja makan saat melihat sebuah dompet tergeletak di meja ruang keluarga, aku segera memanggil Arina yang sedang mencuci piring di dapur,

"Dik Rin, ini dompet siapa ya?" tanyaku, Arina segera menuju ruang keluarga,

"Aduh Mas, sepertinya dompet Ifa ketinggalan, bagaimana ya kalau Ifa butuh beli sesuatu uangnya tidak ada?" ujar Arina dengan tampang khawatir,

"Ya sudah biar Mas yang antarkan dompet ini ke kontrakan Ifa, Dik Rin langsung mandi saja ya, kan nanti sore ada acara pengajian di rumah bu RT" aku beranjak mengambil kunci mobil,

"Mas mau ke kontrakan Ifa naik mobil?" tanya Arina lagi, aku tertegun sebentar, baru teringat kontrakan Lathifa hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami, aku kembali menaruh kunci mobil dan tersenyum polos kepada Arina yang menjulurkan lidahnya mengejekku, aku mengejarnya namun ia sudah menutup pintu kamar mandi saat aku mendekat, dari dalam terdengar tawanya sambil berteriak,

"Cepat pulang ya Mas!"

Berjalan kaki melewati komplek perumahan kami tak senyaman biasanya seperti saat-saat dulu aku dan Arina sering lari pagi bersama, terutama sapaan para ibu-ibu yang sering berkumpul diujung gang perumahan, sedikit banyak aku bisa mendengar kasak kusuk suara mereka di belakangku saat aku telah berlalu agak jauh dari mereka,

"Lihat tuh, pasti mau kerumah madunya. Kok tega ya istri lagi sakit begitu suaminya malah kawin lagi" aku hanya bisa beristighfar dalam hati mendengar gunjingan tentangku, pantas saja akhir-akhir ini Arina lebih sering minta diantar belanja ke supermarket, saat kutanya mengapa tidak belanja di tukang sayur langganan, Arina menghela napas dan berkata sudah bosan menghadapi keingintahuan ibu-ibu komplek tentang rumah tangga kami.

Sampai di depan rumah Ifa aku mengucap salam dan mengetuk pintu, agak lama kutunggu sampai Ifa membukakan pintu untukku. Tadinya kupikir karena ia sedang di kamar kecil atau sedang mandi sampai aku melihat ada hal yang aneh pada wajahnya,

"Mas, ada apa kemari?" tanya Ifa terlihat sedikit kaget melihatku berdiri di depan pintu rumahnya, aku mengangkat dompetnya yang kubawa dari rumah

"Dompet Ifa tertinggal dirumah jadi aku datang mengantarkan ini takut Ifa butuh sesuatu untuk dibeli" ujarku, Ifa menunduk demi melihatku yang sedang memperhatikan wajahnya lebih detil,

"Dik Ifa menangis?" pertanyaan itu terlontar begitu saja setelah memastikan mata yang merah dan bengkak itu memang karena tangisan, Ifa menyeka sisa air mata diujung kelopak matanya,

"Ifa gak apa-apa, Mas..." jawabnya cepat dengan senyum terpaksa, dia menunduk lagi. Aku mengingat-ingat kembali peristiwa makan siang kami tadi, aku khawatir ada kata-kata atau perlakuanku maupun Arina yang menyakitinya, Tapi sejauh yang kuingat acara makan bersama kami tadi siang benar-benar hanya makan siang bersama yang menyenangkan, aku dan Arina banyak bercanda dan kelihatannya Ifa juga menikmati percakapan kami.

"Kalau memang ada masalah atau ada hal yang membuat Ifa sedih, Ifa bisa cerita semua padaku. Bagaimanapun aku sudah jadi suamimu dan kebahagiaanmu adalah juga tanggung jawabku" ujarku mengangkat wajahnya yang tertunduk sejak tadi, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya yang setelah kuperhatikan lebih dekat sangat lentik. Kesedihan tergambar jelas dalam matanya yang hitam sekelam malam, isaknya mulai terdengar dengan tubuh yang bergetar. Lathifa menghambur ke pelukanku yang langsung merengkuhnya dan menangis tersedu-sedu dalam dadaku. Aku mengajaknya masuk kedalam rumah agar tak lagi bertambah gunjingan tetangga tentang keluargaku.

Bersambung.....