Chapter #4 :
Rasa Yang Berbeda
Kisah Arina
Aku membuka mata dan
melihat kamar rumah sakit yang putih bersih, Mas Amran terlihat sedang
termenung menatap keluar jendela, entah apa yang sedang dilihatnya atau pikiran
apa yang sedang berlarian dalam kepalanya, wajahnya sendu dan penuh rasa
khawatir,
“Mas…” panggilku lemah,
dia menoleh dan tersenyum, segera menghampiri tempat tidur dan duduk disisiku,
“Dik Rin sudah bagun?
Masih lemas badannya?” tanya Mas Amran sambil mengusap kepalaku,
“Kenapa aku dirumah
sakit Mas?”
“Kata dokter Dik Rin
kekurangan darah, komplikasi pasca operasi dan radioterapi, jumlah sel darah
merah menurun jadi Arina butuh donor darah sesegera mungkin. Kebetulan stok di
PMI sedang kosong, dan Mas sudah cek ternyata darah Mas tidak cocok buat Arina,
semoga saja ada orang yang bisa segera membantu kita. Adik jangan cemas ya.” ujar
Mas Amran, padahal sudah jelas dialah yang lebih khawatir. Aku mengangguk dan
tersenyum, dia balas tersenyum dan mengecup keningku lembut.
Saat jam makan siang
Ifa datang menjenguk bersama keluarga Mas Amran, aku meminta maaf pada Ifa
karena telah merusak acara pernikahannya dan membuat semua orang khawatir,
“Tidak perlu meminta
maaf, asalkan Mbak Rin selalu sehat Ifa sudah cukup lega.” ujarnya lembut, aku
memeluknya dengan hangat, Mas Amran tersenyum melihat kami berpelukan.
“Bagaimana kabar
pendonor darah yang dibutuhkan Arina, Mas?” tanya Ibu mertuaku pada Mas Amran,
“Belum ada Bu, kami
sedang berusaha mencari lewat teman-teman dekat kami tapi belum ada yang
darahnya cocok dengan Arina.” jawab Mas Amran
“Golongan darahmu apa
Mbak Rin?” tanya Ifa
“AB rhesus positif”
jawab Mas Amran cepat, “Dik Ifa bisa donor? golongan darahmu apa?” sambungnya
lagi
“Bisa, Ifa juga AB
positif Mas” jawab Ifa, mata Mas Amran berbinar-binar seolah menemukan berlian,
segera ditariknya tangan Ifa keluar ruang perawatan, semua yang ada dalam
ruangan menghela napas lega, terlebih aku yang mengetahui bahwa golongan darah
aku dan Ifa sama, bukan hanya karena masalah donor darah, tapi lagi-lagi
kenyataan itu menambah kesempatan keberhasilan proses bayi tabung kami kelak.
Aku mendapatkan donor
darah dari Ifa, tapi meskipun sudah di transfusi aku masih harus tetap dirawat
di rumah sakit beberapa hari lagi untuk masa pemulihan. Sambil menunggu
kesehatanku pulih aku, Mas Amran dan Ifa melakukan persiapan bayi tabung, tentu
saja Mas Amran dan Ifa terlebih dahulu yang melakukan serangkaian tes kesehatan
mengingat kondisiku belum terlalu sehat, rencananya aku akan menyusul sebelum
pulang dari rumah sakit saat kesehatanku sudah membaik.
Selama di rumah sakit
aku lebih banyak ditemani Ifa, karena Mas Amran sudah banyak cuti dari kantor
selama aku operasi dulu. Sambil menunggu Mas Amran pulang kantor aku dan Ifa
biasanya banyak mencari tahu tentang proses bayi tabung, saat Mas Amran datang
Ifa pulang kerumah dan akan kembali esok pagi sebelum Mas Amran berangkat
kerja. Aku sangat bersyukur di kelilingi oleh orang-orang baik yang sangat
menyayangi aku. Semangat hidupku yang sempat meredup perlahan menggelora
kembali, aku ingin segera sehat, aku ingin segera memulai proses bayi tabung
agar aku bisa segera memeluk malaikat kecilku dalam dekapan.
Kisah Lathifa
Lima hari sudah Arina
dirawat di rumah sakit sejak hari pernikahanku dengan Mas Amran, lima hari juga
statusku telah sah sebagai istri kedua dalam rumah tangga mereka. Selama lima
hari aku lebih banyak mengamati dan semakin mengenal Arina lebih dekat, aku
sempat mendengar pembicaraan Mas Amran dan dokter pagi hari saat dokter visite
ke kamar Arina, Mas Amran juga bertanya tentang berapa lama lagi Arina boleh
menjalani proses bayi tabung,
“Arina belum lama ini
menjalani proses radioterapi Pak Amran, kami juga berharap calon bayi kalian
akan jadi anak yang sehat dan sempurna tapi setidaknya dalam tiga bulan ini
proses bayi tabung tidak bisa dilakukan karena kami khawatir masih ada sisa radiasi
dalam tubuh Arina yang akan mempengaruhi kesehatan janin kalian nantinya” jelas
dokter pada Mas Amran di depan kamar Arina, wajah Mas Amran terlihat sedikit
kecewa mendengar penjelasan dokter.
Aku dan Mas Amran
memang telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan hasilnya kami siap menjalani
proses bayi tabung, hanya kondisi Arina yang meskipun terlihat sudah bugar
namun dokter kandungan tetap menolak mengambil sel telurnya berkaitan dengan
pengobatan radioterapi terakhir yang dijalani Arina. Tiga bulan, waktu yang
diberikan dokter sebelum proses bayi tabung dapat dilakukan, dan selama tiga
bulan kedepan aku tidak punya bayangan apa yang harus kulakukan sebagai istri
kedua padahal tujuan dari pernikahan ini adalah sebagai rahim pengganti.
Setiap kali pulang
kerja Mas Amran akan selalu menginap di rumah sakit menemani Arina, sesekali ia
mengantarku pulang sebelum kembali ke rumah sakit, aku yang terbiasa mandiri
sejak kecil dan tiba-tiba ada pria yang memaksa mengantarkan pulang hingga ke
dalam rumah merasa sedikit canggung sekaligus terharu. Terkadang Mas Amran
membelikan aku makanan agar aku tidak perlu repot memasak di rumah kontrakan
sederhana yang ia sewakan untukku,
“Maaf ya Dik Ifa, saya
cuma bisa memberikan ini. Semoga Arina segera sehat jadi kapan-kapan kita bisa
makan bersama.” ujar Mas Amran, aku tersenyum kepadanya,
“Ifa senang bisa
membantu Mas dan Arina, Ifa juga berdoa agar Arina segera sehat dan segera
pulang kerumah.” balasku
“Saya pamit kembali ke
rumah sakit ya Dik” Mas Amran berjalan
kembali ke mobilnya, aku memandang bahu lebarnya dari belakang,
“Eh Mas....” ujarku
cepat sebelum tangan Mas Amran meraih gagang pintu mobil, ia terhenti dan
berbalik menatapku penuh tanya,
“Ummhhh...” aku
menggumam tak jelas, ragu-ragu dan menyesal telah membuatnya berbalik badan,
kini aku harus bisa memberikan alasan yang masuk akal atau justru harus
melontarkan keinginan konyolku kepadanya, dia masih menunggu dengan sabar,
“Ada apa Dik Ifa?”
akhirnya Mas Amran bertanya dan kembali mendekat kepadaku,
“Aku boleh meminta
sesuatu? Ahh... tapi tak usahlah!” jawabku cepat, wajah Mas Amran semakin
terlihat penasaran kali ini,
“Dik Ifa butuh sesuatu?
Bilang saja tak usah sungkan, bagaimanapun saya telah jadi suamimu.” kalimat
Mas Amran semakin memberiku keberanian,
“Sebelum Mas pergi, Ifa
boleh cium tangan Mas Amran?” akhirnya permintaan itu keluar dari bibirku, aku
menatap Mas Amran yang sedikit terkejut, seumur hidup baru kali ini aku merasa
sangat malu, mungkin jika ada cermin aku bisa melihat wajahku memerah seperti
tomat karena malu.
Sekejap kemudian Mas
Amran tersenyum, tangan besarnya mengusap kepalaku dan memberikan tangan
satunya kepadaku, dengan ragu-ragu aku menggenggam tangannya dan menempelkannya
di keningku. Ini kedua kalinya kami berpegangan tangan, pertama kali saat ia
menarikku untuk mendonorkan darah saat Arina pingsan di hari pernikahan kami,
mungkin baginya itu bukan sesuatu yang spesial, tapi bagiku bisa merasakan
kehangatan tangannya dan merasakan genggamannya adalah hal yang luar biasa dan
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku sering melihat teman-temanku yang
telah menikah selalu mencium tangan suami mereka yang mengantarkan mereka ke
majelis, karena sekarang aku telah menikah dan juga diantarkan pulang oleh
suamiku maka aku hanya penasaran bagaimana rasanya mencium tangan seorang suami
seperti yang dilakukan oleh teman-temanku.
Aku melepaskan tangan
Mas Amran dan menunduk sambil tersenyum malu, Mas Amran masih menatapku juga
sambil tersenyum, mungkin ia tidak mengira akan menerima permintaan konyol dari
istri keduanya,
“Masih ada permintaan
lainnya?” tanya Mas Amran kemudian, aku menggeleng kuat-kuat dan mendorongnya
ke arah mobil,
“Sana pergi nanti Arina
lama menunggu” balasku, Mas Amran tertawa kecil dan masuk ke mobil,
“Aku pamit Dik Ifa, Assalamulaikum.”
aku menjawab salamnya dan menyaksikan mobil Mas Amran perlahan melaju
meninggalkan aku yang masih menatap mobilnya dari halaman rumah, setelah
mobilnya berbelok di ujung gang barulah aku masuk ke dalam rumah.
Aku menghempaskan
diriku ke tempat tidur, menatap tangan yang baru saja digenggam Mas Amran,
masih terasa hangat. Menyentuh kepalaku yang barusan dibelainya, masih
terbayang lembutnya. Rasanya hatiku dipenuhi oleh bunga-bunga, mungkinkah ini
yang dirasakan oleh orang yang sedang jatuh cinta?!
Kisah Amran
Seumur hidupku aku
tidak pernah membayangkan akan memiliki dua istri, bahkan aku cenderung
membencinya setiap kali ada temanku yang menikah lagi dan istri keduanya
membuat kehidupan istri pertama menderita. Karena sejak kecil aku telah
diajarkan untuk selalu menghormati wanita oleh ayah dan ibuku, ayah dan ibu
adalah panutanku dalam kehidupan rumah tangga, kedekatan dan kemesraan mereka
tak luntur dimakan usia, ayah memang sering membuat ibu kesal karena
kecerobohannya tapi ayah tak pernah membuat ibu menderita. Juga ibuku yang
sangat sabar dan pengertian, tanpa mengeluh selalu merawat ayah yang mulai
sakit-sakitan karena penyakit tuanya. Lalu saat bertemu Arina yang telah
benar-benar membuatku jatuh cinta, aku langsung yakin ingin menghabiskan masa
tuaku bersamanya, Arina seolah menjadi pengganti Ibu yang bersedia merawatku,
menjadi sahabat tempat bertukar pikiran dalam mengambil keputusan, juga menjadi
sandaran saat beban kerja dikantor membuatku jenuh. Arina terlihat begitu
sempurna dimataku sebagai seorang istri, hingga penyakit itu datang dan merenggut
Arinaku yang ceria dan penuh semangat.
Dan kini hadir Lathifa
dalam kehidupan kami, jujur saja aku sungguh tak tahu apa yang harus aku
lakukan pada istri kedua yang tak disangka kudapatkan ini. Aku ragu apakah aku
harus memperlakukan Ifa sebagai istri namun aku juga tak mau melukai Arina.
Sementara jika hak-hak nya tidak kuberikan maka akulah yang akan berdosa
sebagai suami yang dzalim. Keadaan ini sungguh membuatku dilema, sementara
teman-teman di kantor justru iri dan dengan semangat menggodaku,
“Duh enaknya jadi Pak
Amran, dicarikan madu oleh istrinya, coba istriku juga begitu pasti makin indah
dunia ini” semua yang mendengarnya tertawa, aku hanya tersenyum simpul
menanggapi kelakar teman kerjaku.
Dan aku cukup terkejut
dengan permintaan Lathifa saat aku mengantarnya pulang malam ini, dia meminta
mencium tanganku layaknya seorang istri yang diantar oleh suaminya, dia memang
istriku dan aku memang suaminya, bukan hal yang dosa atau tak sopan meskipun
dilihat oleh orang lain, hanya saja aku tak terbiasa menyentuh wanita selain
Arina dan Ibuku. Yang membuatku tertarik hanyalah ekspresi takut dan malu di
wajah Ifa, sejak pertama kali Arina membawanya kerumah kami Ifa selalu bersikap
dewasa dan tenang, baru kali ini aku melihat sikapnya yang gelisah dan takut
sekaligus malu seperti itu, wajahnya yang merah menahan malu membuatku harus menahan
tawa agar ia tidak tersinggung. Arina adalah pribadi yang terbuka, masalah
sekecil apapun akan ia bicarakan dengan orang-orang terdekat yang dia percaya.
Tapi Lathifa terlihat lebih tertutup dan kejadian malam ini cukup memberi
kejutan bahwa wanita yang selalu kuanggap dewasa itu juga bisa bersikap manja
kepada suaminya.