Sabtu, 13 Desember 2014

Wanita Kedua

Rumah ini besar, dan di rumah besar inilah kita mulai rumah tangga kecil kita di tengah keluarga besarmu sayang. Dulu saat aku masih sendiri aku pernah bermimpi akan menikah dan memiliki rumah kecil yang bisa kuatur dan kudekorasi dengan semau hatiku. Tapi inilah yang kau tawarkan padaku setelah menikah, dengan segala pertimbangan dan kondisi aku memutuskan setuju untuk tinggal di rumah besarmu, rumah tempat kau dimanja dan dibesarkan oleh wanita pertamamu, ibu.
Ibumu adalah wanita yang sangat hebat, dia melahirkan dan membesarkan seorang pria yang kucintai dan sangat ku hormati sebagai suamiku. Cemburu? Aku cukup sadar diri untuk tidak cemburu pada wanita pertamamu itu. Beliau menyayangi aku dan mengurusku sama baiknya dengan kau memperhatikan aku, aku mencintai beliau hampir sama dengan aku mencintai ibuku sendiri.
Tapi ini bukan tentang masalah dengan ibumu, tidak ada sedikitpun hak-hakku sebagai istri yang direbutnya dariku, pun tidak ada kewajibanmu sebagai anak yang kau lalaikan terhadap ibumu, sepenuhnya aku setuju kewajibanku untuk melayanimu dan kewajibanmu adalah tetap kepada wanita pertamamu.
Mungkin ini hanya masalah pembawaanku yang kau sebut 'drama queen' itu, pemicu yang sangat sepele tapi membuat hati istrimu ini kacau balau galau tak menentu sepanjang hari dan menangis di sepanjang perjalanku menuju tempat kerja. Dalam rumah besar kita memang hanya aku satu-satunya wanita yang bekerja secara shift, setiap hari menghadapi macetnya jalanan ibu kota, stress karena beban pekerjaan dan segala macam bentuk pekerjaan lain yang membuatku begitu lelah saat tiba di rumah. Kita sepakat bahwa masa depan kita butuh biaya yang sangat besar, karena itu selain bergantung padamu aku rela tidak tidur semalaman demi uang lemburan agar masa depan kita esok bisa lebih mudah. Tapi sayang, betapapun kau ingin kita berhemat dan menyimpan uang kita aku tetaplah seorang wanita yang punya kebutuhan, punya keinginan terlebih dengan beban kerjaku dengan waktu yang panjang dan kadang membuatku jenuh. Aku sadar aku bukan manajer keuangan keluarga yang handal, karena itu aku setuju kau yang mengatur seluruh keungan keluarga besar kita, sebanyak apapun uang yang kau beri untuk keluargamu apa pernah aku menggeleng keberatan atau tidak setuju? Merengut seharian karena baju baru, blender baru atau sekedar uang jajan untuk adikmu? Karena aku sadar itu juga masuk dalam kewajibanmu pada keluargamu maka aku paham dengan sangat baik. Aku menahan diri untuk tidak banyak menuntut darimu karena aku masih punya penghasilanku sendiri untuk kebutuhan pribadi dan untuk keluargaku sendiri, aku tidak menuntutmu dengan nafkah sekian juta bahkan tidak meminta untuk membiayai keperluan pribadiku padahal jika mau aku bisa menuntutmu lebih untuk nafkahku sebagai istri, tidak sayang... aku bukan wanita rakus karena itu kau menikahiku bukan?!
Kita berdua setuju aku ini manusia yg cukup boros dan kita sepakat kau yang mengatur keuangan keluarga, tapi kau tidak tahu bulan ini aku cukup berhemat dengan ongkos kerjaku untuk membeli kado ulangtahun untuk ibuku sendiri.
Yang membuatku cukup terluka saat aku sedang menghitung sisa ongkos bulan ini kau malah bergurau tentang kelemahanku mengenai boros dan jajan.
Duh sayang, tidakkah kau sadar bahwa kau yang seharusnya mencukupi kebutuhanku setiap hari, memastikan bahwa istrimu tidak kekurangan hal apapun baik materi maupun waktu yg berkualitas untuk sekedar berbincang dan bermanja pada suaminya. Aku berhemat untuk kado ulangtahun ibuku, bukan meminta uang kepadamu dan memaksamu mencarikan uang banyak untuk keluargaku.
Aku tidak meminta harta yg banyak padamu jika aku harus kehilangan cinta dan perhatian dari pria yang kunikahi atas nama cinta, aku tahu kau mengejar ambisimu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau mampu, kau bisa dan kau hebat dengan segala keterbatasanmu saat ini. Tapi apa artinya semua kehebatan itu jika tak lagi kutemukan sosok yang dulu membuatku merasa kuat, yang membuatku merasa tak pernah sendiri, yang membuatku berani dan yakin menjauh dari keluargaku yang menentang pernikahan kita dulu. Jika akupun harus kehilanganmu yang ditelan ambisi maka aku tak punya siapapun lagi kecuali Tuhan bersamaku.
Aku tahu aku tak akan pernah bisa melampaui kepentingan ibumu karena bagaimanapun juga aku tetaplah wanita kedua bagimu dalam rumah besar kita, ini memang jauh dari impianku dulu untuk menjadi ratu paling cantik dan paling disayangi dalam rumah tanggaku sendiri, tapi aku menjalaninya agar kau terjaga dengan baik saat aku bekerja, agar kau merasa nyaman dan bahagia selalu dekat dengan wanita pertamamu.
Aku mencintaimu dengan seluruh cinta yg kupunya, karena itu aku menyerahkan nasib, hidup dan surgaku kepadamu, melepaskan dengan paksa tanggung jawab orangtuaku yg sejak dulu mengurusku ke tanganmu yang kupercaya dengan segenap jiwa.
Maaf atas sikap 'drama queen' yang kau nikahi satu paket dengan segala kekuranganku yang lain, maaf jika aku tidak cukup sempurna untuk menerima semua kekuranganmu dan selalu menuntut lebih hingga kau merasa terbebani.
Dan maaf jika kau harus menikahi seorang perawat dan juga seorang penulis dengan sikap 'drama queen' yang kadang membantuku untuk membuat cerita dan mengolah kata.
Rasa sakit dan rasa marahku tidak akan pernah bisa bertahan lama, ketika airmata ini kering dan ketika kecupan hangatmu sudah kudapatkan nanti semua sedih dan marah ini akan sirna tak berbekas berganti menjadi cinta dan kerinduan yang besar seperti biasanya.
Maka sebelum kesedihan ini berlalu, sebelum aku lupa karena tertutup rasa bahagia bersamamu aku ingin kau tahu dan mengerti.
Terimakasih untuk bersedia menikahiku dan maaf jika hingga saat ini aku belum mampu jadi istri yg cukup baik bagimu.

Love,
Ur 'drama queen' wife.
Wanita keduamu.