Sabtu, 09 Mei 2015

Malaikat Kecil Untuk Arina #1

Kisah Arina...
Bagaimana rasanya jika kau harus melihat suami yang kau cintai menikahi wanita yang selama ini diam-diam mencintainya sejak dulu, dan pernikahan itu terjadi justru karena aku yang memintanya, atau lebih tepat memaksanya meskipun berulang kali ia menolak karena tak ingin melihatku terluka... bagaimana mungkin aku rela membagi kebahagiaan rumah tangga kami dengan orang asing hanya demi sebuah tujuan. Demi kelengkapan kebahagiaan setiap rumah tangga dan demi menjadi seorang wanita seutuhnya, aku rela membagi suamiku dengannya...

#1: Operasi
Kanker rahim stadium 2, kalimat yang meluncur dari mulut dokter itu seolah merobek mimpi dan harapan kami sebagai pasangan muda. Suamiku pucat pasi menerima kabar tentang penyakitku, tatapanku kosong menatap dinding rumah sakit yang putih bersih.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan belum terjadi penyebaran sel-sel kanker, kami lebih menyarankan untuk operasi pengangkatan rahim sesegera mungkin agar tidak terjadi penyebaran ke organ lain."
Operasi pengangkatan rahim, itu artinya kemungkinan kami untuk memiliki anak nol persen, bagaimana mungkin kami memiliki anak jika tempat janin berkembang diangkat dari tubuhku?
Aku tergugu dalam sujud panjang, berusaha bernegosiasi dengan kenyataan yang terasa begitu menyakitkan. Bukan karena kanker, tapi kenyataan bahwa aku tak akan pernah bisa memeluk anakku sendiri, darah dagingku, buah cinta kami berdua. Mas Amran, suamiku lebih terpukul karena sebagai anak tunggal desakan dari mertuaku untuk segera memiliki momongan begitu menggebu, satu tahun pernikahan tidak pernah absen setiap bulan ibu mertuaku bertanya tentang cucunya. Kami masih belum berani memberitahu kabar buruk ini mengingat kondisi ayah mertua yang rentan karena penyakit tuanya.
Hingga detik ini aku masih menjadi menantu kesayangan, rumah kami berdekatan karena Mas Amran ingin menjaga kedua orangtuanya, hampir setiap hari ibu mertuaku datang mengantarkan masakan kesukaan putra tunggalnya, aku tidak pernah keberatan beliau masih memanjakan anaknya karena aku paham beliau hanya memiliki satu anak yang sangat disayanginya yaitu suamiku.
Pada akhirnya dengan berderai airmata kedua mertuaku menerima kabar itu dari Mas Amran, aku hanya terdiam ketika ibu mertuaku memeluk tubuhku dengan gemetar,
"Nda apa-apa Nduk, yang kuat ya... yang sabar insya Allah akan ada hikmah dibalik semua ini." bisiknya penuh haru di telingaku, airmataku telah habis tumpah dipelukan Mas Amran, aku tersenyum lelah sambil mengelus pergelangan tangan ibu mertuaku yg beranjak sepuh itu memberi isyarat bahwa aku sudah tidak apa-apa. Penerimaan itu datang begitu saja, keputusan untuk melakukan operasi pengangkatan rahim segera dibuat. Dua minggu kemudian tubuhku telah terbaring kesakitan di ruang rawat dengan luka operasi besar di perutku. Saat masa pemulihan Mas Amran mengantarku berkeliling rumah sakit agar aku tidak bosan, tidak sengaja aku melihat sebuah poster tentang proses bayi tabung dengan harga yang lumayan terjangkau. Sebuah pikiran melintas dalam benakku,
"Mas, kita jalani proses bayi tabung yuk?" tanyaku dengan muka serius, Mas Amran menatapku penuh tanya,
"Lalu siapa yg akan mengandungnya dik Rin?" balas Mas Amran lembut, dia mengelus rambutku perlahan dengan penuh kasih sayang,
"Dokter bilang rahimku sudah dibuang tapi aku masih punya sel telur yg bisa dibuahi, kita bisa meminjam rahim wanita lain untuk anak kita Mas" ujarku penuh harapan, dalam sebulan terakhir baru kali ini Mas Amran melihatku begitu bersemangat, dia masih mengelus rambutku yg sedang duduk diatas kursi roda yg didorongnya sambil merenung sebentar.
"Itu mungkin saja, tapi apa Dik Rin siap dengan konsekuensinya?" tanya Mas Amran serius menatap mataku, aku mencari pengertian lebih jauh dari dalam mata gelapnya,
"Poligami." ujarnya pelan, "Dik Rin sudah tahu bayi tabung itu haram jika bukan dilakukan dengan muhrim kan?" aku termenung lagi mendengar kalimat terakhir Mas Amran, membayangkan aku harus berbagi suami dengan wanita lain. Suamiku yang lembut dan penuh kasih sayang, suamiku yang selalu punya kalimat ajaib untuk menenangkan aku kapanpun aku resah karena masalah-masalah kecil maupun besar. Apakah aku rela dia membagi tubuh dan cintanya kepada wanita lain? Malam itu mataku tak bisa terpejam, aku benar-benar menginginkan seorang anak dari darah dagingku sendiri, aku ingin memberikan cucu kepada mertuaku yang sangat menyayangi Mas Amran dan aku sebelum mereka bertemu ajalnya. Aku menatap tubuh Mas Amran yg duduk tertidur disebelahku, dengkur halusnya sudah lama mengalun sejak tadi, tangannya masih menggenggam tanganku. Kali ini aku yg membelai rambut tebalnya, kupandangi wajahnya dengan penuh haru, dia tidak pernah meninggalkan aku sendirian menghadapi penyakit ini, malam-malam penuh airmata yang kutumpahkan di dadanya ketika masa-masa penolakan dulu, dia tidak pernah lelah menghadapi tingkahku yang terlalu banyak khawatir tentang segala sesuatu. Mas Amran terbangun dari tidurnya karena belaianku, kulirik jam dinding sudah hampir memasuki waktu subuh,
"Dik Rin sudah bangun? Atau belum tidur?" tanya Mas Amran dengan mata merah, aku tersenyum menggeleng,
"Tahajud, Mas... aku mau dengar Mas baca Al-Qur'an lagi seperti kemarin" pintaku manja sambil mengelus tangan besarnya, dia balas tersenyum dan bangkit mengambil wudhu lalu melakukan apa yg kuminta.
Sudah hampir satu bulan setelah operasi keadaanku berangsur membaik, untuk mencegah penyebaran dokter menyarankan aku menjalani radioterapi. Sambil menjalani pengobatan aku masih tetap memikirkan tentang bayi tabung, diam-diam aku bertanya kepada dokter spesialis kandungan tentang kemungkinan memiliki anak melalui proses bayi tabung, dokter membenarkan kemungkinan itu ada dengan menitipkan janin kami di rahim wanita lain. Harapanku melambung, terlebih melihat orangtua kami yang semakin tua dan kerinduan memeluk buah hati kami yg begitu menggebu. Masalahnya hanya satu, Mas Amran selalu keberatan dengan hal ini, dia tidak mau menikahi wanita lain hanya untuk mengandung anak kami.
"Dik Rin tahu mas tidak sampai hati untuk menikah lagi" ujarnya lemah setiap kali kami berdebat mengenai hal ini,
"Mas tidak harus campur dengan dia kan? Kita hanya menitipkan janin kita di rahimnya" balasku keras kepala
"Dik, sebagai seorang suami tidak akan lepas dari yg namanya kewajiban dan tanggung jawab, jika mas memiliki lebih dari satu istri maka mas harus bersikap adil, mas tahu Dik Rin sangat ingin punya anak tapi Mas lebih tahu Dik Rin tidak akan sanggup berbagi tanpa merasa tersakiti" ujar Mas Amran putus asa menasihati istrinya yg keras kepala. Air mataku meleleh ke pipi, jika sudah begini Mas Amran akan langsung merengkuhku ke dalam pelukannya hingga tangisku reda, dia mengecup keningku perlahan
"Oke jika Dik Rin memaksa, Mas mau asalkan wanita itu pilihan Dik Rin dan berjanjilah kau tak akan menyesal dengan semua hal yg adik minta, Mas akan melakukan apapun asalkan Dik Rin bahagia" bisiknya ditelingaku, aku memeluknya semakin erat dengan ucapan terima kasih yg berulang kali kuucapkan.