Sabtu, 11 Februari 2017

Malaikat Kecil Untuk Arina #4

Chapter #4 :
Rasa Yang Berbeda

Kisah Arina
Aku membuka mata dan melihat kamar rumah sakit yang putih bersih, Mas Amran terlihat sedang termenung menatap keluar jendela, entah apa yang sedang dilihatnya atau pikiran apa yang sedang berlarian dalam kepalanya, wajahnya sendu dan penuh rasa khawatir,
“Mas…” panggilku lemah, dia menoleh dan tersenyum, segera menghampiri tempat tidur dan duduk disisiku,
“Dik Rin sudah bagun? Masih lemas badannya?” tanya Mas Amran sambil mengusap kepalaku,
“Kenapa aku dirumah sakit Mas?”
“Kata dokter Dik Rin kekurangan darah, komplikasi pasca operasi dan radioterapi, jumlah sel darah merah menurun jadi Arina butuh donor darah sesegera mungkin. Kebetulan stok di PMI sedang kosong, dan Mas sudah cek ternyata darah Mas tidak cocok buat Arina, semoga saja ada orang yang bisa segera membantu kita. Adik jangan cemas ya.” ujar Mas Amran, padahal sudah jelas dialah yang lebih khawatir. Aku mengangguk dan tersenyum, dia balas tersenyum dan mengecup keningku lembut.
Saat jam makan siang Ifa datang menjenguk bersama keluarga Mas Amran, aku meminta maaf pada Ifa karena telah merusak acara pernikahannya dan membuat semua orang khawatir,
“Tidak perlu meminta maaf, asalkan Mbak Rin selalu sehat Ifa sudah cukup lega.” ujarnya lembut, aku memeluknya dengan hangat, Mas Amran tersenyum melihat kami berpelukan.
“Bagaimana kabar pendonor darah yang dibutuhkan Arina, Mas?” tanya Ibu mertuaku pada Mas Amran,
“Belum ada Bu, kami sedang berusaha mencari lewat teman-teman dekat kami tapi belum ada yang darahnya cocok dengan Arina.” jawab Mas Amran
“Golongan darahmu apa Mbak Rin?” tanya Ifa
“AB rhesus positif” jawab Mas Amran cepat, “Dik Ifa bisa donor? golongan darahmu apa?” sambungnya lagi
“Bisa, Ifa juga AB positif Mas” jawab Ifa, mata Mas Amran berbinar-binar seolah menemukan berlian, segera ditariknya tangan Ifa keluar ruang perawatan, semua yang ada dalam ruangan menghela napas lega, terlebih aku yang mengetahui bahwa golongan darah aku dan Ifa sama, bukan hanya karena masalah donor darah, tapi lagi-lagi kenyataan itu menambah kesempatan keberhasilan proses bayi tabung kami kelak.
Aku mendapatkan donor darah dari Ifa, tapi meskipun sudah di transfusi aku masih harus tetap dirawat di rumah sakit beberapa hari lagi untuk masa pemulihan. Sambil menunggu kesehatanku pulih aku, Mas Amran dan Ifa melakukan persiapan bayi tabung, tentu saja Mas Amran dan Ifa terlebih dahulu yang melakukan serangkaian tes kesehatan mengingat kondisiku belum terlalu sehat, rencananya aku akan menyusul sebelum pulang dari rumah sakit saat kesehatanku sudah membaik.
Selama di rumah sakit aku lebih banyak ditemani Ifa, karena Mas Amran sudah banyak cuti dari kantor selama aku operasi dulu. Sambil menunggu Mas Amran pulang kantor aku dan Ifa biasanya banyak mencari tahu tentang proses bayi tabung, saat Mas Amran datang Ifa pulang kerumah dan akan kembali esok pagi sebelum Mas Amran berangkat kerja. Aku sangat bersyukur di kelilingi oleh orang-orang baik yang sangat menyayangi aku. Semangat hidupku yang sempat meredup perlahan menggelora kembali, aku ingin segera sehat, aku ingin segera memulai proses bayi tabung agar aku bisa segera memeluk malaikat kecilku dalam dekapan.

Kisah Lathifa
Lima hari sudah Arina dirawat di rumah sakit sejak hari pernikahanku dengan Mas Amran, lima hari juga statusku telah sah sebagai istri kedua dalam rumah tangga mereka. Selama lima hari aku lebih banyak mengamati dan semakin mengenal Arina lebih dekat, aku sempat mendengar pembicaraan Mas Amran dan dokter pagi hari saat dokter visite ke kamar Arina, Mas Amran juga bertanya tentang berapa lama lagi Arina boleh menjalani proses bayi tabung,
“Arina belum lama ini menjalani proses radioterapi Pak Amran, kami juga berharap calon bayi kalian akan jadi anak yang sehat dan sempurna tapi setidaknya dalam tiga bulan ini proses bayi tabung tidak bisa dilakukan karena kami khawatir masih ada sisa radiasi dalam tubuh Arina yang akan mempengaruhi kesehatan janin kalian nantinya” jelas dokter pada Mas Amran di depan kamar Arina, wajah Mas Amran terlihat sedikit kecewa mendengar penjelasan dokter.
Aku dan Mas Amran memang telah melakukan pemeriksaan kesehatan dan hasilnya kami siap menjalani proses bayi tabung, hanya kondisi Arina yang meskipun terlihat sudah bugar namun dokter kandungan tetap menolak mengambil sel telurnya berkaitan dengan pengobatan radioterapi terakhir yang dijalani Arina. Tiga bulan, waktu yang diberikan dokter sebelum proses bayi tabung dapat dilakukan, dan selama tiga bulan kedepan aku tidak punya bayangan apa yang harus kulakukan sebagai istri kedua padahal tujuan dari pernikahan ini adalah sebagai rahim pengganti.
Setiap kali pulang kerja Mas Amran akan selalu menginap di rumah sakit menemani Arina, sesekali ia mengantarku pulang sebelum kembali ke rumah sakit, aku yang terbiasa mandiri sejak kecil dan tiba-tiba ada pria yang memaksa mengantarkan pulang hingga ke dalam rumah merasa sedikit canggung sekaligus terharu. Terkadang Mas Amran membelikan aku makanan agar aku tidak perlu repot memasak di rumah kontrakan sederhana yang ia sewakan untukku,
“Maaf ya Dik Ifa, saya cuma bisa memberikan ini. Semoga Arina segera sehat jadi kapan-kapan kita bisa makan bersama.” ujar Mas Amran, aku tersenyum kepadanya,
“Ifa senang bisa membantu Mas dan Arina, Ifa juga berdoa agar Arina segera sehat dan segera pulang kerumah.” balasku
“Saya pamit kembali ke rumah sakit ya Dik”  Mas Amran berjalan kembali ke mobilnya, aku memandang bahu lebarnya dari belakang,
“Eh Mas....” ujarku cepat sebelum tangan Mas Amran meraih gagang pintu mobil, ia terhenti dan berbalik menatapku penuh tanya,
“Ummhhh...” aku menggumam tak jelas, ragu-ragu dan menyesal telah membuatnya berbalik badan, kini aku harus bisa memberikan alasan yang masuk akal atau justru harus melontarkan keinginan konyolku kepadanya, dia masih menunggu dengan sabar,
“Ada apa Dik Ifa?” akhirnya Mas Amran bertanya dan kembali mendekat kepadaku,
“Aku boleh meminta sesuatu? Ahh... tapi tak usahlah!” jawabku cepat, wajah Mas Amran semakin terlihat penasaran kali ini,
“Dik Ifa butuh sesuatu? Bilang saja tak usah sungkan, bagaimanapun saya telah jadi suamimu.” kalimat Mas Amran semakin memberiku keberanian,
“Sebelum Mas pergi, Ifa boleh cium tangan Mas Amran?” akhirnya permintaan itu keluar dari bibirku, aku menatap Mas Amran yang sedikit terkejut, seumur hidup baru kali ini aku merasa sangat malu, mungkin jika ada cermin aku bisa melihat wajahku memerah seperti tomat karena malu.
Sekejap kemudian Mas Amran tersenyum, tangan besarnya mengusap kepalaku dan memberikan tangan satunya kepadaku, dengan ragu-ragu aku menggenggam tangannya dan menempelkannya di keningku. Ini kedua kalinya kami berpegangan tangan, pertama kali saat ia menarikku untuk mendonorkan darah saat Arina pingsan di hari pernikahan kami, mungkin baginya itu bukan sesuatu yang spesial, tapi bagiku bisa merasakan kehangatan tangannya dan merasakan genggamannya adalah hal yang luar biasa dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku sering melihat teman-temanku yang telah menikah selalu mencium tangan suami mereka yang mengantarkan mereka ke majelis, karena sekarang aku telah menikah dan juga diantarkan pulang oleh suamiku maka aku hanya penasaran bagaimana rasanya mencium tangan seorang suami seperti yang dilakukan oleh teman-temanku.
Aku melepaskan tangan Mas Amran dan menunduk sambil tersenyum malu, Mas Amran masih menatapku juga sambil tersenyum, mungkin ia tidak mengira akan menerima permintaan konyol dari istri keduanya,
“Masih ada permintaan lainnya?” tanya Mas Amran kemudian, aku menggeleng kuat-kuat dan mendorongnya ke arah mobil,
“Sana pergi nanti Arina lama menunggu” balasku, Mas Amran tertawa kecil dan masuk ke mobil,
“Aku pamit Dik Ifa, Assalamulaikum.” aku menjawab salamnya dan menyaksikan mobil Mas Amran perlahan melaju meninggalkan aku yang masih menatap mobilnya dari halaman rumah, setelah mobilnya berbelok di ujung gang barulah aku masuk ke dalam rumah.
Aku menghempaskan diriku ke tempat tidur, menatap tangan yang baru saja digenggam Mas Amran, masih terasa hangat. Menyentuh kepalaku yang barusan dibelainya, masih terbayang lembutnya. Rasanya hatiku dipenuhi oleh bunga-bunga, mungkinkah ini yang dirasakan oleh orang yang sedang jatuh cinta?!

Kisah Amran
Seumur hidupku aku tidak pernah membayangkan akan memiliki dua istri, bahkan aku cenderung membencinya setiap kali ada temanku yang menikah lagi dan istri keduanya membuat kehidupan istri pertama menderita. Karena sejak kecil aku telah diajarkan untuk selalu menghormati wanita oleh ayah dan ibuku, ayah dan ibu adalah panutanku dalam kehidupan rumah tangga, kedekatan dan kemesraan mereka tak luntur dimakan usia, ayah memang sering membuat ibu kesal karena kecerobohannya tapi ayah tak pernah membuat ibu menderita. Juga ibuku yang sangat sabar dan pengertian, tanpa mengeluh selalu merawat ayah yang mulai sakit-sakitan karena penyakit tuanya. Lalu saat bertemu Arina yang telah benar-benar membuatku jatuh cinta, aku langsung yakin ingin menghabiskan masa tuaku bersamanya, Arina seolah menjadi pengganti Ibu yang bersedia merawatku, menjadi sahabat tempat bertukar pikiran dalam mengambil keputusan, juga menjadi sandaran saat beban kerja dikantor membuatku jenuh. Arina terlihat begitu sempurna dimataku sebagai seorang istri, hingga penyakit itu datang dan merenggut Arinaku yang ceria dan penuh semangat.
Dan kini hadir Lathifa dalam kehidupan kami, jujur saja aku sungguh tak tahu apa yang harus aku lakukan pada istri kedua yang tak disangka kudapatkan ini. Aku ragu apakah aku harus memperlakukan Ifa sebagai istri namun aku juga tak mau melukai Arina. Sementara jika hak-hak nya tidak kuberikan maka akulah yang akan berdosa sebagai suami yang dzalim. Keadaan ini sungguh membuatku dilema, sementara teman-teman di kantor justru iri dan dengan semangat menggodaku,
“Duh enaknya jadi Pak Amran, dicarikan madu oleh istrinya, coba istriku juga begitu pasti makin indah dunia ini” semua yang mendengarnya tertawa, aku hanya tersenyum simpul menanggapi kelakar teman kerjaku.

Dan aku cukup terkejut dengan permintaan Lathifa saat aku mengantarnya pulang malam ini, dia meminta mencium tanganku layaknya seorang istri yang diantar oleh suaminya, dia memang istriku dan aku memang suaminya, bukan hal yang dosa atau tak sopan meskipun dilihat oleh orang lain, hanya saja aku tak terbiasa menyentuh wanita selain Arina dan Ibuku. Yang membuatku tertarik hanyalah ekspresi takut dan malu di wajah Ifa, sejak pertama kali Arina membawanya kerumah kami Ifa selalu bersikap dewasa dan tenang, baru kali ini aku melihat sikapnya yang gelisah dan takut sekaligus malu seperti itu, wajahnya yang merah menahan malu membuatku harus menahan tawa agar ia tidak tersinggung. Arina adalah pribadi yang terbuka, masalah sekecil apapun akan ia bicarakan dengan orang-orang terdekat yang dia percaya. Tapi Lathifa terlihat lebih tertutup dan kejadian malam ini cukup memberi kejutan bahwa wanita yang selalu kuanggap dewasa itu juga bisa bersikap manja kepada suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar