Minggu, 12 Juni 2016

Malaikat Kecil Untuk Arina #2

#2: Wanita Kedua

Kisah Arina...
Aku sangat bingung mencari calon ibu untuk janinku, sempat terpikir untuk mencari di internet dengan sejumlah bayaran tapi Mas Amran menolak keras hal ini,
"Carilah seorang wanita yg baik akhlaknya Dik, wanita yg kau kenal baik dan kau percaya untuk mengandung anak kita di rahimnya." nasehat Mas Amran yg melihat kegalauanku mencari calon ibu dari anak kami. Aku menawarkan kepada tetangga sebelah rumah, janda cerai beranak dua yang selalu baik kepada keluarga kami, dia menolak dengan alasan sudah terlalu tua untuk hamil lagi. Aku lebih berfokus kepada janda-janda karena lebih besar kemungkinan para gadis menolak permintaanku ini. Hingga suatu hari seorang wanita datang ke rumah, menawarkan diri untuk menjadi ibu dari anakku. Saat kutanya dari mana dia mendapat berita ia mengatakan bahwa ustadzah tempat dia mengaji yang memberitahu tentang kesulitanku dan ia tergerak untuk membantuku. Aku tidak bisa begitu saja percaya maka aku memberi waktu satu minggu padanya untuk lebih dekat pada keluarga kami. Aku mengenalkannya kepada Mas Amran sebagai temanku di pengajian, sepertinya Mas Amran sudah tahu akan dibawa kemana perkenalan itu karena dia selalu menatapku dengan tatapan khawatir setiap kali aku bertanya ini itu kepada Lathifa, nama wanita itu. Ketika dia mengatakan alumnus sebuah kampus tiba-tiba Mas Amran bertanya,
"Angkatan berapa?" aku baru teringat kampus negeri yang Ifa (begitu ia minta dipanggil) sebutkan adalah kampus Mas Amran dulu.
"Angakatan 36 Mas, fakultas ekonomi" jawab Ifa sambil tersenyum,
"Wah... satu tingkat dibawah saya" komentar Mas Amran singkat, hanya itu dan selebihnya aku yang lebih banyak bertanya. Ifa bukan janda, tapi terlalu tua untuk disebut gadis, usianya hanya satu tahun lebih muda dari Mas Amran. Parasnya ayu dan kalem dengan jilbab lebar yang sederhana, manis. Aku banyak bertanya tentang keluarganya, asal usulnya dan kehidupannya. Ifa anak pertama dari empat bersaudara, semua adiknya perempuan dan telah menikah, keluarganya memang tergolong cukup kekurangan namun Ifa tidak ingin membebani orangtuanya lebih jauh karena itu ia bersedia menikah dan menjadi istri kedua. Mas Amran lebih banyak menyimak percakapan kami, aku tahu dia masih merasa tak nyaman dengan ide rahim pengganti ini, aku yang duduk disampingnya mengelus punggung tangan Mas Amran mencoba membuatnya lebih nyaman. Saat ini yang ada dalam kepalaku hanyalah keinginan memiliki anak, bagaimanapun caranya. Lalu tiba-tiba saja kami sudah membahas tanggal pernikahan, wajah Mas Amran seketika menjadi pucat, kulirik Ifa sekilas wajahnya bersemu sebelum ia menundukkan pandangannya.
"Ifa... aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan hal ini, aku sangat ingin memiliki anak dan Ifa telah bersedia menolong kami, mulanya Mas Amran tidak setuju mengenai ide ini karena tak ingin aku terluka jika dia harus menikah lagi tapi aku yang terus memaksanya, karena itu....." aku kehabisan kata-kata penjelasan tapi sepertinya Ifa sudah mengerti apa yang kumaksud,
"Saya paham Mbak Rin, saya tidak akan pernah menuntut penuh hak-hak saya sebagai istri, saya juga rela dicerai jika nanti anak kalian sudah lahir dengan sehat dan selamat" ujar Ifa mantap. Hatiku lega, teramat lega mendengarnya, tapi Mas Amran masih menatapku dengan wajah yang tidak yakin.

Kisah Lathifa...
Benakku melayang pada kejadian tujuh tahun lalu saat menjadi mahasiswi baru di kampusku, dengan kampus yang demikian besar aku tersesat saat mencari letak perpustakaan, saat itulah aku pertama kali melihatnya, dengan punggung lebar dan suara yang tegas dan lantang sedang berbicara memberi instruksi kepada timnya, aku mendekat dengan ragu-ragu.
"Maaf, sepertinya saya tersesat..." ujarku pelan, dia berbalik menghadapku, aku sempat melihat matanya yang bersinar seperti bintang sebelum menundukkan kepalaku,
"Mau kemana?" tanya pria itu singkat,
"Perpustakaan" balasku cepat, dia berjalan menuju ke arahku lalu melewatiku tanpa kata-kata, aku berbalik dan tertegun menatap punggung lebarnya, tak lama berjalan dia berhenti dan berbalik menoleh ke belakang,
"Kenapa masih berdiri di sana? Perpustakaan lewat sini, kebetulan saya juga ada perlu disana" ujarnya lalu melanjutkan langkah dengan kaki panjangnya. Dingin, itu kesan pertamaku terhadapnya, seperti kerbau aku mengikuti langkahnya, sepanjang perjalanan banyak mahasiswi yang menyapanya ramah, aku tahu pria seperti dia pasti sangat populer di kampus, belakangan aku tahu namanya Amran, dia kepala angkatan sekaligus kepala senat yang baru terpilih, selama masa perkuliahan aku sering mendengarnya berpidato, atau datang berkunjung ke proyek fakultas kami, Kak Amran begitu kami para adik kelas memanggilnya, setelah lama di kampus aku tahu dia bukan orang yang dingin, dia hanya tegas dan cermat. Ketika masuk tingkat akhir dia menjadi asisten dosen setelah menyerahkan jabatan ketua senat kepada angkatanku, dia baik, cerdas dan sangat berwibawa, teman-teman perempuanku banyak yang coba menggodanya tapi Kak Amran selalu tegas pada mereka yang bertingkah berlebihan, sejujurnya akupun kurang suka melihat tingkah mereka, membuat risih dan mengganggu jika dilakukan di dalam kelas. Aku memang mengaguminya, dan berharap kekaguman itu tidak akan berkembang lebih lanjut menjadi perasaan cinta. Kami memang tidak dekat secara khusus, pertemuan kami hanya sebatas mengerjakan proyek kampus atau hubungan biasa antara mahasiswa dan asisten dosen. Aku tidak menyadari apa yang kurasakan untuk Kak Amran hingga berhembus kabar ia akan mengkhitbah temanku yang bernama Anissa, kabar itu menyebar cepat di seluruh angkatan, Anissa yang menjadi bahan gosip mendadak jadi terlihat begitu menyebalkan karena akan segera dilamar oleh idola kampus, padahal dia tidak berbuat atau berkata apapun, setiap kali ditanya oleh teman-teman ia hanya akan tersenyum dan berkata tidak tahu menahu tentang hal itu. Saat itulah pertama kalinya aku merasakan yang namanya cemburu, aku dan Anissa tidak pernah punya masalah apapun, hubungan kami selama ini selalu baik-baik saja. Lalu mendadak aku menjadi jaga jarak dengannya, malas mengobrol dan hanya menjawab seadanya ketika ditanya. Selama beberapa hari aku lebih banyak merenung tentang keanehan perasaanku sendiri, masih belum bisa mengakui bahwa mungkin ternyata tanpa kusadari aku telah jatuh cinta. Menanggapi kabar tersebut Kak Amran langsung bertindak tegas membuat klarifikasi bahwa ia belum ada rencana menikah dalam waktu dekat, aku tahu Annisa sedikit kecewa tapi entah mengapa aku merasa begitu lega, meskipun tak lama berselang hal yang membuatku kembali gundah terjadi, hari perpisahan dengan Kak Amran semakin dekat, sudah tiba waktunya bagi mahasiswa tingkat akhir untuk persiapan wisuda. Dan hari-hari berlalu bagaikan berlari, hari wisuda Kak Amran telah tertinggal jauh dibelakang, hari wisudaku menyusul tahun berikutnya, lalu hari pernikahan adik-adikku yang begitu mengharukan. Aku bukannya tak ingin menikah, sebelum adik-adikku menikah mereka telah beberapa kali mencoba mencarikan suami untuk kakaknya yang semakin tua ini, beberapa kali ta'aruf gagal, baik dari pihakku maupun dari pihak pria belum menemukkan kecocokkan, sebagian besar mereka minder dengan tittle ku sebagai sarjana, dan akhirnya aku larut dalam bisnis perdagangan milik keluarga, semakin melupakan urusan pernikahan. Hingga sebuah kabar hinggap ditelingaku dari teman pengajianku di majelis, tentang perjuangan seorang wanita pengidap kanker yang berusaha memiliki anak dengan mencarikan suaminya seorang madu untuk dititipkan janin mereka. Sejenak aku termenung, begitu besarnya pengorbanan seorang wanita demi hadirnya malaikat kecil dalam rumah tangganya, dalam sisa usianya yang entah sampai kapan dia tidak kehilangan semangat berjuang. Aku terharu, dari mulanya hanya mendengar kisah sampai bertanya macam-macam kepada temanku tentang pasangan luar biasa ini. Dan betapa kagetnya aku saat temanku memperlihatkan foto pasangan yang sedang dilanda kesulitan itu, rasanya jantungku seperti turun ke perut ketika mengenali wajah pria yang sempat singgah dalam hatiku tujuh tahun lalu, aku masih ingat dengan jelas bahunya yang besar dan matanya yang bersinar seperti bintang, Mas Amran tidak banyak berubah dalam foto yang kulihat, hanya terlihat lebih gemuk dan tentu saja lebih bahagia.
"Mbak Ifa kok bengong sih? Segitunya terharu sama kisah Arina ya? Apa jangan-jangan mau mencalonkan diri jadi ibu pengganti?" goda temanku sambil mengambil foto dari tanganku, aku tersenyum menatapnya dan berkata mantap,
"Dek, mungkin aku mau coba bantu mereka dengan menjadi ibu pengganti untuk janin mereka" dan temanku hampir saja menjerit di dalam masjid jika ia tidak segera menutup mulutnya dan memandangku dengan mata tidak percaya.
Jodoh, jika memang benar Kak Amran adalah jodohku maka mungkin saja ini jalan yang diberikan Allah untuk mempertemukan kami, akan kujemput dan kujalani dengan sepenuh hati, aku tidak berniat merebut suami orang, wanita itulah yang menawarkan suaminya kepada orang-orang untuk mencari madu. Benih-benih cinta yang lama terkubur mulai tersembul keluar, untuk kali ini apakah aku bisa mengatakan perasaanku yang sejak dulu terpendam kepada Kak Amran, sebagai istri keduanya, Kak Amran sebagai suamiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar